Dupak Bujang, Esem Mantri & Semu Bupati

Ada hal yang menarik ketika Senin, 18 Maret 2019 lalu, saya mengikuti Kegiatan Publikasi  dan Sosialisasi Kurikulum 2013 di Sarila Hotel Sukoharjo. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Dinas P dan K Kabupaten Sukoharjo ini, diikuti oleh Guru SD Kabupaten Sukoharjo.


Pada sesi materi, Kebetulan pada waktu itu pematerinya adalah Bapak Subeno, Pengawas Sekolah Dasar. Beliau menyampaikan ada tiga filososi Jawa dalam berkomunikasi, yakni Dupak Bujang, Esem Mantri & Semu Bupati.

Dupak Bujang, 

Jika diartikan secara lugas dupak artinya menendang, Bujang berarti anak muda yang masih lajang. Lalu apakah dupak bujang artinya tendangan tanpa bayangan pada seorang bujangan? Ah, tentu tidak demikian.

Jawa terkenal dengan tingkatan berbahasa. Sebut saja ngoko untuk berkomunikasi dengan orang yang secara strata sosial sama, atau di bawah kita. Juga bahasa Krama untuk berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, atau yang lebih tinggi strata sosialnya.

Nah, maksud dari dupak  bujang ini adalah kita harus berbicara lugas, straight, to the point. Bila perlu, kita memerintah mereka dengan men-dupak (menendang). Bahasa-bahasa kiasan atau perintah tidak langsung, umumnya tidak akan dipahami.

Esem Mantri 

Esem berarti senyum, Mantri ya mantri, maksudnya adalah masyarakat kelas menengah. Kalau pada zaman dulu ya dibawah bupati. Memberitahu mereka hanya cukup dengan esem (senyum). Senyum saja sudah menjadi pasemon (isyarat). Kaum esem mantri sudah paham apa yang dimaksudkan.

Semu Bupati

Semu artinya samar, Bupati merupakan perwakilan dari orang yang berpendidikan tinggi dan memahami sastra. Ini mewakili kalangan atas, termasuk raja, kaum terpelajar, pujangga, dll. Untuk kalangan yang lebih tinggi (bupati), bahkan semu/pasemon (raut muka) sudah cukup menyiratkan makna.

Kaum yang satu ini menyampaikan sesuatu secara tersamar (semu). Penuh simbolik dan makna, juga tidak frontal/langsung. Ketika menyampaikan usulan proyek, misalnya, dari reaksi raut muka atasan bisa diketahui apakah diterima, diragukan atau ditolak.

Jadi pendek kata, dalam berkomunikasi dengan orang lain, kita harus bisa menempatkan diri. Dapat memposisikan, dengan siapa kita berbicara. Jika memang dengan senyum dan sedikit gerak tubuh saja lawan bicara sudah mengerti, tak perlulah kita berbusa-busa ngomong kesana kemari. Meski terkadang setingkat Bupati pun terkadang berbicara straight, lugas dan to the point.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel