Warsito Purwo Taruno-Penemu Rompi Anti Kanker Asal Indonesia

Warsito Purwo Taruno adalah seorang ilmuwan kelas dunia, salah satu putra terbaik Indonesia. Warsito adalah buah transformasi sumber daya unggulan Indonesia yang digagas oleh B.J. Habibie setelah dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto. Anak dusun ini berangkat ke Jepang pada 1987  sebagai Penerima beasiswa Overseas Fellowship Program Habibie (OFP Habibie). 


Warsito Purwo Taruno-Penemu Rompi Anti Kanker Asal Indonesia

Berikut perjalanan Warsito dari lahir hingga tahun 2016, yang ditulis oleh Fenty Effendy, dalam bukunya "Setrum Warsito, Kisah di Balik Penemuan Rompi Anti-Kanker"
  • 15 Mei 1967, lahir di Ploso Lor, Matesih, Karanganyar, Surakarta.
  • 1983, masuk SMA Negeri I Karanganyar.
  • 1986, diterima di UGM.
  • 1987, berangkat ke Jepang sebagai Penerima beasiswa OFP Habibie.
  • 1994, pemerintah menghentikan program beasiswa OFP Habibie, tetapi Warsito tetap melanjutkan studi karena mendapatkan beasiswa dari kementrian Pendidikan Jepang.
  • 1997, meraih gelar doktor Shizuoka University dengan temuannya multi-modal ultrasound tomography.
  • Agustus 1999, menjadi Pembicara kunci termuda dalam konferensi internasional bidang gas cair di Delft University of Technology. 
  • 2000, menemukan algoritma untuk membaca bagian pinggir dari gelombang listrik berenergi rendah yang gerakannya liar dan sangat acak. 
  • 2001, mendapat Outstanding Posdoctoral Award dari Ohio State University dan penghargaan sejenis dari American Chemical Society. 
  • April 2004, pulang ke Indonesia untuk memperpanjang visa dan berharap membuktikan konsep “melihat tembus berbasis medan listrik satis di ruang sembarang (Electrical Volume Thomography).
  • 2006, Majalah Tempo memasukkan Warsito sebagai “10 yang mengubah dunia”
  • 2007, mendirikan Edwar Tecnology bersama Doktor Edi Sukur, belajar Teknik Kimia di Chiba University dengan beasiswa program Science and Technology for Industrial Development (STAID).
  • Januari 2009, menciptakan SonaCT, sistem pemindai ultrasonik non-destructive testing pertama di dunia, untuk mengecek banyaknya karat di dalam tabung gas bus trans-Jakarta.
  • Oktober 2009, menjadi staf khusus Menristek bidang Kerjasama Luar Negeri.
  • 2010, menciptakan kutang medan listrik berbasis energi rendah untuk Yu Warni yang terkena kanker payudara stadium IV.
  • Oktober 2001, membuat helm ala Peter Cech untuk Willy Saputra, seorang penderita tumor otak (Pilocytic Astrocytoma) stadium 3B yang lumpuh.
  • April 2013, membuat ECVT untuk mendeteksi tumor di kepala atau penyakit lainnya pada Simposium Internasional tentang Pencitraan Biomedis di San Fransisco, AS.
  • Oktober 2013, dilarang tampil sebagai pembicara dalam "Workshop Deteksi Dini Kanker payudara dengan Menggunakan Metode Nonradiasi" di Jakarta.
  • Juni 2015, diundang memberikan kuliah umum dan workshop dalam kongres ke-10 International Society for Medical Laser Applications (ISLA) di Beverugen, Jerman.
  • Juli 2015, memperkenalkan ECVT untuk memverifikasi data simulasi yang dihasilkan superkomputer termutakhir skala satu miliar kali skala giga dalam pameran Teknologi Lanjutan Innoprom di Ekaterinburg, Rusia.
  • Agustus 2015, menerima BJ. Habibie Tecnology Award dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
  • November 2015, Klinik Riset Kanker ditutup setelah keluarnya Surat Sekretaris Jendral Kementrian Kesehatan yang menyatakan istilah "Klinik Riset" tidak dikenal dalam Peraturan Kesehatan no. 9 Tahun 2014.
  • 3 Februari 2016, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan mengumumkan hasil telaah bahwa ECVT dan ECCT belum bisa disimpulkan keamanan dan manfaatnya sehingga akan diadakan penelitian lebih lanjut.
  • 8 Februari 2016, mulai pelatihan internasional pertama untuk penanganan kanker di Warsawa, Polandia. 
Baca Juga: Sebakul Nasi dan Catatan Kecil Seorang Professor (Cerpen tentang Prof. Warsito Purwo Taruno)

Saya tertarik dengan kisah Hidup Prof Warsito, saat pertama kali menyaksikan wawancaranya di Kick Andy. Andy F Noya pada waktu itu masih dengan style kribonya. Belum botak seperti sekarang. Berikut videonya:


Terlebih dengan buku karya mbak Fenty Effendy, semakin menggenapkan kekaguman saya pada sosok Professor satu ini. Membaca kisah masa kecil Warsito yang sangat sederhana di Pelosok Jawa Tengah, perjalanan sekolahnya di Jepang yang mengantarkannya menjadi peneliti kelas dunia, tak hanya menginspirasi, tetapi juga mengobarkan semangat untuk senantiasa pantang menyerah.

"Saya tak menganggap diri saya lebih pintar dari anak-anak lain. Saya hanya tidak punya kemewahan waktu untuk belajar, sebab sepulang sekolah saya harus membantu Bapak, kemudian membantu Simbok di rumah. Nyapu, nyuci, menimba air dan sebagainya. Jadi, saya menyalin rumus ke kertas, dilipat-lipat seukuran telapak tangan dan dibaca sambil ndedeki sawah." ~Warsito~


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel